Kamis, 06 Desember 2012

Mahasiswa tolak perusahaan kelapa sawit beroperasi

Demo Hari Tani Nasional

Mahasiswa tolak perusahaan kelapa sawit beroperasi

Andi Indra - Koran Sindo
Senin,  24 September 2012  −  14:05 WIB
Demo Hari Tani Nasional (Andi Indra/Koran Sindo)
Demo Hari Tani Nasional (Andi Indra/Koran Sindo)
Sindonews.com – Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam aliansi Forum Mayarakat Tani (Format) bersama Forum Aksi Mahasiswa untuk Demokrasi Kabupaten Polewali Mandar (Polman), Sulawesi Barat (Sulbar), melakukan aksi unjuk rasa memperingati hari tani nasional di Gedung DPRD Polman.

Dalam aksinya, para demonstran itu menolak perusahaan kelapa sawit PT Mandar Subur Sejahtera Mandiri untuk akan beroperasi pada sejumlah kecamatan di wilayah Polman  karena dianggap sebagai bentuk perampasan tanah rakyat dan merupakan tanah ulayat (adat).

Salah seorang demonstran, Hamka, saat berorasi mengatakan konflik tanah perkebunan yang melibatkan petani penggarap dengan pengusaha perkebunan akhir-akhir ini banyak terjadi seperti adanya gerakan menuntut kembali tanah garapan petani.

Karena itu, kejadian kasus tanah perkebunan yang muncul ke permukaan publik seperti itu jangan sampai melanda masyarakat Polman khususnya masyarakat yang ada di lima kecamatan yakni Campalagian, Tapango, Luyo, Tu’bi Taramanu (Tutar), dan Mapilli sebagai wilayah yang rencananya akan menjadi lokasi perkebunan kelapa sawit PT Mandar Subur Sejahtera.

“Kita tidak ingin di Polewali kasus tanah perkebunan yang melibatkan masyarakat petani dengan pengusaha perkebunan terjadi. Karena itu, dengan tegas kami atas nama masyarakat tani menolak rencana perkebunan kelapa sawit oleh perusahaan swasta itu,” ungkap Hamka saat berorasi, Senin (24/9/2012) .

Menurut Hamkan, masuknya perusahaan swasta mengelola perkebunan sawit di atas tanah masyarakat dan adat merupakan awal dari terjadinya sebuah konflik bagi masyarakat Polman karena disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat. Salah satu contoh kasus adalah kasus yan menimpa Mesuji, dimana telah terjadi penembakan petani dan tidak lagi diakui sebagai pemilik sah lahan yang telah digarap oleh perusahaan kelapa sawit.

Begitupula dengan kasus yang menimpa masyarakat Mamuju Utara (Matra) yang sertifikat tanahnya tidak lagi diakui keabsahannya oleh pihak pengadilan dengan alasan sertifikat yang sah dipegang oleh pihak perusahaan.

“Contoh kasus ini harus dijadikan pengalaman agar masyarakat Polman khususnya dilima kecamatan itu tidak mengalami peristiwa yang sama,” tandas Hamka.

Terlepas dari persoalan itu, salah seorang demonstran lainnya, Madi, mengatakan, lahan pada lima kecamatan yang akan dijadikan sebagai lahan  perkebunan kelapa sawit tersebut merupakan lahan produktif yang dikenal penghasil kakao terbesar dan juga penghasil gula merah serta kelapa.

“Jika lahan-lahan tersebut akan dijadikan sebagai areal perkebunan kelapa sawit, maka secara otomatis para petani akan kehilangan mata pencahariannya dan penghasilan kakao Polman akan berkurang,” jelas Madi.

Apalagi, jika dalam perkebunan sawit yang melibatkan petani setempat, pembagian antara perusahaan dan pihak petani yang katanya 80 persen untuk pihak swasta dan 20 persen diberikan kepada penggarap sangat tidak adil.

“Ini kan tidak adil. Perusahaan lebih banyak diuntungkan, sementara hak petani yang merupakan penggarap dan pemilik lahan hanya 20 persen. Kalau seperti itu kan penindasan,” jelas Madi.

Dalam aksi tersebut, para demonstran menyodorkan satu selebaran kepada dua anggota DPRD Polman yang menarima yakni Hamzah Yahya dan Andi Muhtadin.

Menanggapi tuntutan para demonstran, Hamzah Yahya mengaku menerima aspirasi para demonstran dan akan memanggil sejumlah SKPD terkait dalam hal ini.

Dihadapan para demonstran, Hamzah tidak berani memberikan keputusan terkait tuntutan para demonstran. Hanya saja, mengenai hal itu ia berprinsip pada dasarnya pemerintah tidak akan seenaknya memberikan izin pada perusahaan swasta tersebut apalagi jika akan menyengsarakan rakyatnya.

Kalau studi kelayakannya dan tidak terbentur dengan aturan kenapa tidak diberi izin. Tapi kalau akan merampas hak  masyarakat menurutnya itu memang tidak bisa dibiarkan.  Kecuali masyarakat tani setempat juga menyetujui hal itu.

“Masalah ini, yang saya pahami masih dalam proses pembuatan analisa dampak lingkungan (Amdal). Jika hasil amdal yang dilakukan tidak cocok dan lebih dianggap bisa menimbulkan dampak keselamatan pada masyarakat tidak akan dilanjutkan. Nah, kita tunggu saja dulu amdalnya,” jelas Hamzah senada mengatakan bahwa semua aspirasi yang masuk akan dicatat untuk dibahas di DPRD. 

(azh)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar